Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Mei 2012

Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Sebab Datangnya Adzab

(Oleh : Ustadz Nur Kholis bin Kurdian, Lc.)

"Dan peliharalah dirimu dari siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya".
(Qs al-Anfâl/8:25)

Penjelasan Ayat

Adzab Allah Ta'ala itu sangat pedih. Jika adzab itu diturunkan pada suatu tempat, maka ia akan menimpa semua orang yang ada di tempat tersebut, baik orang shaleh maupun thâlih (keji). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memperingatkan kaum Mukminin agar mereka senantiasa membentengi diri mereka dari siksa tersebut dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta menyeru manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.

Syaikh Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri hafizhahullâh mengatakan, “Ayat ini sebagai peringatan lain yang amat besar bagi kaum Mukminin, agar mereka tidak meninggalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta tidak meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru manusia kepada kebaikan dan mengajak mereka untuk menjauhi kemungkaran). Sebab, jika mereka meninggalkannya, maka kemungkaran akan menyebar dan kerusakan akan meluas. Bila kondisi sudah demikian, maka adzab pun akan diturunkan kepada seluruh komponen masyarakat, baik yang shaleh maupun yang thâlih, yang berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejelekan, baik yang adil maupun yang zhalim. Dan jika Allah Ta’ala menurunkan siksa, maka siksa-Nya sangat pedih, tidak seorang pun yang kuat menahan siksa tersebut. Untuk itu, hendaknya kaum Mukminin menjauhinya dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Imam Ibnu Jarîr rahimahullâh berkata: “Dalam ayat di atas Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (yang maknanya); “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri kalian dari siksa Allah Ta’ala , jangan sampai siksa itu menimpa kalian, karena ulah orang-orang zhalim yang telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan, baik berupa kezhaliman maupun perbuatan dosa (lainnya) atau karena kalian mendatangi tempat-tempat maksiat, tempat yang pantas untuk diturunkan adzab.

Hikmah Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Sesungguhnya termasuk pengertian dari nama Allah al-Hakiim (Dzat Yang Maha Bijaksana) adalah tersimpannya banyak kebaikan bagi para hamba dalam amalan-amalan yang dititahkan-Nya, dan adanya berbagai kerusakan serta bahaya dibalik perkara-perkara dilarang-Nya. Maka takala perintah untuk melaksanakan ibadah yang agung ini Allah sampaikan kepada umat Islam, pastilah tersimpan banyak rahasia kebaikan di dalamnya. Berikut ini di antara hikmahnya yang luhur:

1.

Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu bentuk iqâmatul hujjah (penyampaian hujjah, keterangan yang jelas akan kebenaran dari Allah Ta’ala ) bagi seluruh umat manusia secara umum, dan para pelaku maksiat secara khusus. Sehingga ketika turun musibah dan bencana mereka tidak bisa berdalih dengan tidak adanya orang yang memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka. Mereka juga tidak bisa beralasan dengan hal yanga sama di hadapan Allah Ta’ala kelak. Allah Ta’ala berfirman:

"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
(Qs an-Nisâ/4:165)

2.

Dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar akan terlepas tanggungan kewajiban untuk melaksanakannya (lazim disebut barâtu dzimmah) dari pundak orang-orang yang telah menjalankannya. Allah Ta’ala berfirman :

“maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sekali-kali tidaklah tercela”.
(Qs adz-Dzâriyât/51:54)

3. Membantu saudara seiman untuk melaksanakan kebajikan, sebagai realisasi firman Allah Ta’ala :

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam melaksanakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”.
(Qs al-Mâidah/5:2)

Seorang Muslim yang sejati, adalah orang yang menyukai kebaikan ada pada saudaranya seiman, seperti dia menyukai hal itu ada pada dirinya. Karenanya, dia bersungguh-sungguh untuk mengajak saudaranya seiman untuk menggapai pahala dan menjauhi dosa.

4. Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan kepemimpinan (penguasaan) di muka bumi. Allah yang telah menciptakan bumi, maka Dia Ta'ala lah yang berhak mengangkat penguasa di muka bumi tersebut. Allah Ta’ala berfirman menyebutkan ciri-ciri para penguasa pilihan-Nya:

“Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah dari yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (Qs al-Hajj/22: 40-41)


Ganjaran Bagi Orang-Orang yang Menegakkan Pilar Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Allah Ta’ala berfirman untuk mengabarkan akan pertolongan-Nya bagi para penegak panji nan agung ini dari laknat yang telah menimpa Ashâb Sabt dalam firman-Nya:

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka kami menyelamatkan orang-orang yang mencegah perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang yang berbuat dzalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik”
(Qs: Al-a’rof :165)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Ini adalah sunnatullah (hukum Allah Ta’ala) bagi para hamba-Nya, bahwa orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang kemungkaran akan selamat ketika musibah menimpa. ”
(Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 307)

Kerusakan Yang Timbul Akibat Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Sebagaimana melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengandung banyak kemaslahatan bagi umat manusia di dunia maupun di akhirat, maka begitu pula sebaliknya, meninggalkan amalan yang agung ini akan menimbulkan berbagai kerusakan yang dapat menghilangkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan. Dan ini merupakan salah satu tanda akan besarnya kasih-sayang Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, lantaran Dia Ta’ala senantiasa memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan agama, dunia dan terlebih akherat mereka. Di antara kerusakan tersebut adalah:

  • Ketika amar ma’ruf nahi munkar ini ditinggalkan maka para pelaku maksiat dan dosa akan semakin bernyali untuk terus melakukan perbuatan nistanya, sehingga sedikit demi sedikit akan sirnalah cahaya kebenaran dari tengah-tengah umat manusia. Sebagai gantinya, maksiat akan merajalela, keburukan dan kekejian akan terus bertambah dan pada akhirnya tidak mungkin lagi untuk dihilangkan.
  • Sikap diam orang-orang yang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar akan membuat perbuatan tersebut menjadi baik dan indah di mata khalayak ramai, kemudian mereka pun akan menjadi pengikut para pelaku maksiat, dan hal ini adalah termasuk musibah dan bencana yang paling besar.
  • Sikap tidak mau mencegah hal yang mungkar merupakan salah satu sebab hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan. Karena tersebarluasnya kemungkaran tanpa adanya seorang pun dari ahli agama yang mengingkarinya akan membentuk anggapan bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kemungkaran (kebatilan). Bahkan bisa jadi mereka melihatnya sebagai perbuatan yang baik untuk dikerjakan. Pada gilirannya, akan kian merajalela sikap menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan mengharamkan hal-hal yamg dihalalkan oleh-Nya. Wal’iyâdzubillâh.

Perkara Yang Menyebabkan Adzab Turun

Di antara sebab turunnya siksa Allah Ta’ala adalah:

1.

Adanya kemungkaran yang merajalela, baik berupa kesyirikan, kemaksiatan, maupun kezhaliman.

Sebagaimana telah disebutkan oleh Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsy radhiallahu'anha bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah mendatanginya dalam keadaan terkejut, seraya berkata:

“Lâ ilâha illallâh! Celakalah bangsa Arab, karena kejelekan yang telah mendekat, hari ini telah dibuka tembok Ya’jûj dan Makjûj seperti ini – beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya - ."

Kemudian Zainab radhiallahu'anha berkata:

“Apakah kita akan binasa wahai Rasullullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?."

Beliau menjawab: “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela.”

Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu berkata:

مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.

2.

Meninggalkan Amar ma’ruf nahi mungkar.

Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits an-Nu’mân bin Basyîr radhiallahu'anhu bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Perumpamaan orang yang menjaga larangan-larangan Allah dan orang yang terjatuh di dalamnya adalah seperti suatu kaum yang sedang mengundi untuk mendapatkan tempat mereka masing-masing di dalam kapal. Sebagian mendapat tempat di bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat di bagian bawah. Orang-orang yang berada di bawah jika ingin mendapatkan air minum mereka melewati orang-orang yang ada di atas. Mereka (yang ada di bawah) berkata: “Andaikata kita melubangi perahu ini untuk mendapatkan air minum, maka kita tidak akan mengganggu mereka yang ada di atas”. Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan perbuatan dan keinginan orang-orang yang ada di bawah (yaitu melubangi kapal), maka mereka semua akan tenggelam. (HR al-Bukhâri dan at-Tirmidzi)

Dalam mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin `Abdurrahmân al-Mubârakfûri rahimahullah berkata: “Dan memang seperti itu maknanya, jika manusia melarang orang yang berbuat maksiat, maka mereka semua akan selamat dari adzab Allah Ta’ala, dan sebaliknya, jika mereka membiarkan kemaksiatan, maka mereka semua akan ditimpa adzab dan akan binasa, dan ini adalah makna ayat (di atas).

Imam al-Qurtubi rahimahullah juga berkata: “Dalam hadits ini terdapat pelajaran yang bisa dipetik, (di antaranya), datangnya adzab tersebut dikarenakan dosa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan juga disebabkan oleh tidak adanya amar ma’ruf nahi mungkar (di tengah mereka). Seperti itu pula yang telah disebutkan dalam hadits Abu Bakr radhiallahu'anhu. Beliau berkata: “Sungguh, kami pernah mendengar Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kezhaliman, kemudian mereka tidak mencegah orang itu, maka Allah akan meratakan adzab kepada mereka semua. (HR Abu Dâwud, at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni).

Ayat dan beberapa hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan manusia di alam semesta ini, karena dengan ditegakkannya hal itu, kesyirikan, kezhaliman dan kemaksiatan akan berkurang, kebaikan akan menyebar serta dengan izin Allah Ta’ala akan terhindar dari adzab Allah Ta’ala di dunia ini.


Bahaya Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selain diturunkan adzab sebagaimana yang tertera di atas, masih ada lagi akibat-akibat lain yang ditimbulkan sikap meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, di antaranya adalah:

  1. Tidak dikabulkan doa (permintaan) seorang hamba.

    Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam:

    "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Ta’ala tidak mengabulkan do’a kalian."
    (HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)

    Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar permintaannya tidak dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
  2. Mendapatkan laknat dari Allah Ta’ala.

    Hal tersebut telah terjadi pada umat sebelum umat ini yaitu Bani Isra’il, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

    “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dâwud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampauhi batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.
    (Qs al-Mâidah/5:78-79)

    Dalam ayat pertama Allah Ta’ala menyebutkan jauhnya orang-orang kafir bani Israil dari rahmat Allah Ta’ala. Hal itu sebagai bentuk hukuman bagi mereka dikarenakan kedurhakaan dan pelanggaran mereka atas batasan-batasan Allah Ta’ala dan hak-hak orang lain. Karena sesungguhnya setiap amal perbuatan pastilah akan ada ganjarannya. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala mengabarkan kepada hamba-hamba Nya yang beriman perihal kemaksiatan yang menyebabkan mereka (orang-orang kafir itu) tertimpa dengan hukuman tersebut. Yaitu mereka melakukan kemungkaran dan tiadalah seorang pun dari mereka yang mencegah saudaranya dari kemaksiatan yang dilakukan. Maka, para pelaku kemungkaran dan orang yang membiarkannya mendapatkan hukuman yang sama. Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya berkata:

    “Dahulu Orang-orang Yahudi dilaknat Allah Ta’ala karena mereka tidak berhenti dari kemungkaran yang mereka perbuat dan sebagian mereka juga tidak melarang sebagian lainnya (dari kemungkaran tersebut)”.

    Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:

    “Ayat di atas (juga) menunjukkan larangan duduk dengan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan mengandung perintah untuk meninggalkan dan menjauhi mereka.”

    Sehingga jelaslah dari kedua ayat di atas bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang akan mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah Ta’ala Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengomentari ayat tersebut dengan ucapan beliau,

    “Ayat ini menerangkan bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah perkara yang mendatangkan kemarahan dan laknat Allah. Nasalullâh al’âfiyah.”

    Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah, inâyah serta taufik dan maghfirahnya kepada kita semua agar kita semua selamat dari adzab dan murka-Nya di dunia dan di akhirat. Amîn


Pelajaran Dari Ayat:

  1. Kemungkaran, baik kesyirikan, kedzaliman maupun kemaksiatan dapat menyebabkan hilangnya kenikmatan dan mendatangkan kehancuran.
  2. Pentingnya Amar ma’ruf nahi mungkar.
  3. Di antara hikmah amar ma’ruf nahi mungkar adalah terhindar dari siksa Allah Ta’ala .
  4. Di antara hikmah amar ma’ruf nahi mungkar adalah menyebarnya kebaikan dan berkurangnya kemungkaran.
  5. Menjauhi tempat-tempat kemungkaran dan pelakunya, agar selamat dari adzab Allah Ta’ala .
  6. Siksa Allah Ta’ala amat pedih, tak seorang mampu menolaknya dan kuat menahannya.

(Majalah As-Sunnah)

Semua Akan Memasuki Neraka?

(Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthafa, Lc.)

Allâh Ta'ala berfirman:

“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka).
Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”
(Qs Maryam/19: 71-72)

Penjelasan dari Ayat

Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allâh Ta'ala kepada seluruh makhluk, baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukminin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allâh Ta'ala dan janji-Nya kepada para hamba-Nya. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu dan Allâh Ta'ala pasti akan merealisasikannya.

Yang perlu diketahui, Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian kata al-wurûd (mendatangi neraka) dalam ayat tersebut. Sebagian Ulama menyatakan, maksudnya neraka dihadirkan di hadapan segenap makhluk, sehingga semua orang akan merasa ketakutan. Setelah itu, Allâh Ta'ala menyelamatkan kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Atau menurut penafsiran yang lain, semua makhluk akan memasukinya. Akan tetapi bagi kaum Mukminin meskipun mereka memasukinya, neraka akan menjadi dingin dan keselamatan bagi mereka. Di samping itu, terdapat penafsiran lain yang memaknai kata al-wurûd dengan mendekati neraka. Dan ada pula yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah panas badan yang dialami kaum Mukminin saat menderita sakit panas.

Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan bahwa penafsiran paling populer mengenai ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, semua orang akan memasuki neraka, akan tetapi kaum Mukminin tidak mengalami bahaya. Kedua, semua orang akan melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya. Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Jadi, orang yang melewatinya dikatakan telah mendatangi neraka. Penafsiran ini dinukil Ibnu Katsîr rahimahullâh dari Ibnu Mas’ûd radhiallâhu'anhu.

Dari dua pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh (wafat tahun 792 H) memandang bahwa pendapat kedua itulah yang paling kuat dan râjih.

Beliau berkata,

“Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian al-wurûd dalam firman Allah Surat Maryam ayat 71, manakah pendapat yang benar? Pendapat yang paling jelas dan lebih kuat adalah melintasi shirâth.”

Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh berhujjah dengan ayat selanjutnya (Qs Maryam/19:72) dan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullâh dalam kitab Shahihnya no. 6354.

Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda saat berada di samping Hafshah radhiallâhu'anha,

“Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon (ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah, red) yang akan masuk neraka”.

Hafshah (dengan merasa heran) berkata,

“Mereka akan memasukinya wahai Rasulullah”.


Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam pun menyanggahnya. Kemudian Hafshah radhiallâhu'anha berdalil dengan membaca ayat di atas (Qs Maryam/19: 71).

(Mendengar ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam kemudian (mendudukkan masalah seraya) bersabda:

“Sungguh Allah telah berfirman setelahnya: Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut)”.
(Qs Maryam/19: 72)


Usai mengetengahkan hadits di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullâh mengatakan bahwa Beliau (Rasulullah) Shallallahu 'Alaihi Wassallam mengisyaratkan (dalam hadits tersebut) bahwa maksud al-wurûd (mendatangi neraka) tidak mesti memasukinya.

Selamatnya (seseorang) dari mara bahaya tidak mesti ia telah mengalaminya. Seperti halnya seseorang yang dikejar musuh yang hendak membunuhnya, namun musuh tidak sanggup menangkapnya, maka untuk orang yang tidak tertangkap ini bisa dikatakan Allah telah menyelamatkannya.

Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya:

  • "Dan ketika adzab Kami datang, Kami selamatkan Hûd..." (Qs. Hûd /11:58),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh..." (Qs. Hûd /11:66),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib..." (Qs. D /11:94).


Siksa Allâh Ta'ala tidak ditimpakan kepada mereka, akan tetapi menimpa orang selain mereka. Jika tidak ada faktor-faktor keselamatan yang Allâh Ta'ala anugerahkan bagi mereka secara khusus, niscaya siksa akan menimpa mereka juga. Demikian pula pengertian al-wurûd (mendatangi neraka), maksudnya adalah orang-orang akan melewati neraka dengan melintasi shirâth, kemudian Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut”

Senada dengan keterangan di atas, sebelumnya Imam Nawâwi rahimahullâh (wafat tahun 676 H) pun merâjihkan arti kata al-wurûd adalah menyeberangi shirâth. Beliau rahimahullâh berkata saat menerangkan hadits Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha:

“Yang benar, maksud al-wurûd (mendatanginya) dalam ayat (Qs Maryam/19:71) adalah melewati shirâth. Shirâth adalah sebuah jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam. Para penghuni neraka akan terjatuh ke dalamnya. Sementara selain mereka akan selamat”.

Dalam kitab al-Jawâbuss Shahîh (1/228), Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh juga merâjihkan bahwa pengertian al-wurûd adalah menyeberangi shirâth.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafizhahullâh juga memilih pendapat ini dalam tafsirnya.

Orang-orang yang Bertakwa Selamat Melintasi Shirâth

Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka. Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat menyeberanginya.

Syaikh as-Sa’di rahimahullâh mengatakan:

“Orang-orang menyeberanginya sesuai dengan kadar amaliahnya (di dunia). Sebagian melewatinya secepat kedipan mata, atau secepat angin, atau secepat jalannya kuda terlatih atau seperti kecepatan larinya hewan ternak. Sebagian (menyeberanginya) dengan berlari-lari, berjalan atau merangkak. Sebagian yang lain tersambar dan terjerumus jatuh di dalam neraka. Masing-masing sesuai dengan kadar ketakwaannya. “


Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya

“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) dan membiarkan orang-orang zhalim (yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan kekufuran dan maksiat) di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”

Semoga Allâh Ta'ala dengan Rahmat dan Kasih-Nya berkenan menyelamatkan kita sekalian dari neraka.

Pelajaran Dari Ayat

  • Mengandung penetapan kewajiban mengimani keberadaan neraka.
  • Penetapan kewajiban mengimani shirâth.
  • Penetapan kepastian menyeberangi jembatan di atas neraka.
  • Ketetapan Allâh Ta'ala pasti terjadi.
  • Orang-orang bertakwa akan selamat dari siksa neraka.
  • Orang-orang fâjir (berbuat jahat) akan binasa karena kesyirikan dan maksiat mereka.

Wallâhu a’lam.
Majalah As-Sunnah

Tiga Tingkatan Kaum Muslimin

(Oleh: Ustadz Ashim Bin Musthafa)

(Qs. Fâthir/35:32)

Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar,
dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.

(Qs. Fâthir/35:31)

AL-QUR‘AN MERUPAKAN KEBENARAN DARI ALLAH TA'ALA

Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Al-Qur‘ân yang diwahyukan kepada Rasul-Nya adalah kebenaran. Muatan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur‘ân memberikan pengertian bahwa seluruh perkara dan urusan yang telah tertera di dalamnya, baik dalam masalah ilahiyyat (aqidah tentang Allâh Ta'ala), perkara-perkara ghaib, maupun perkara-perkara lainnya adalah persis dengan kenyataan yang sebenarnya.

Al-Qur‘ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur‘ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul (sebelum Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur‘ân. Pasalnya, pengingkaran orang tersebut kepada Al-Qur‘ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya (karena berita tentang Al-Qur‘ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut).

Ditambah lagi, keterangan-keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya tersebut bersesuaian dengan apa yang tertera di dalam Al-Qur‘ân. Misalnya, Allâh Ta'ala memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya.

Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dahulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh tentang ayat ke 31 dari surat Fâthir.[1]

TIGA GOLONGAN KAUM MUSLIMIN

Allâh Ta'ala mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Pilihan Allâh Ta'ala kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]

Secara khusus, Allâh Ta'ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur‘ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]

Allâh Ta'ala menggolongkan orang-orang yang menerima Al-Qur‘ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Golongan terakhir disebut sâbiqun bil-khairât.

Golongan Pertama : zhâlim linafsihi (zhâlim linafsihi)

Makna zhâlim linafsihi merupakan sebutan bagi orang-orang muslim yang berbuat taqshîr (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar.[4] Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allâh Ta'ala, akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut:[5]

(Qs. at-Taubah/9: 102)

Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Qs. at-Taubah/9: 102)

Golongan Kedua: al-muqtashid (al-muqtashid)

Orang-orang yang termasuk dalam istilah ini, ialah mereka yang taat kepada Allâh Ta'ala tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu.[6] Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.[7]

Golongan Ketiga: sâbiqun bil-khairât (sâbiqun bil-khairât)

Kelompok ini berciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allâh Ta'ala dan menjauhi muharramât (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang bukan wajib (sunnat) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh Ta'ala.[8] Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, amalan-amalan sunnah lagi menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.[9]

Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sehingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]

JANJI BAIK DARI ALLAH TA'ALA KEPADA TIGA GOLONGAN TERSEBUT

Kemudian Allâh Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menjanjikan Jannatun-Na’im terhadap tiga golongan itu, dan Allâh Ta'ala tidak memungkiri janji-Nya.

Allâh Ta'ala berfirman:

(Qs. Fâthir/35:33)

(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya,
di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.

(Qs. Fâthir/35:33)

Janji Allâh Ta'ala berupa Jannatun-Na’îm kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh golongan zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur‘ân. Yaitu ayat Al-Qur‘ân yang sangat membekaskan sikap optimisme yang sangat kuat pada umat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya (surat Fâthir/35 ayat 36-37).

Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allâh Ta'ala mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allâh Ta'ala, maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]

Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan golongan kedua yang jumlahnya lebih dominan adalah orang-orang yang amalannya buruk.

Allâh Ta'ala berfirman:

(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)

… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.
Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)

MENGAPA ZHÂLIMUN LINAFSIHI DIDAHULUKAN PENYEBUTANNYA DALAM AYAT?

Mengapa golongan zhâlim linafsihi dikedepankan dalam memperoleh janji Jannatun-Na’iim dibandingkan dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sâbiqun bil-khairât), padahal merupakan tingkatan manusia yang terendah dari tiga golongan yang ada? Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputus-asaan dari rahmat Allâh Ta'ala, dan golongan sâbiqun bilkhairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allâh Ta'ala :

(Qs. Shâd/38:24)

… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini…

(Qs. Shâd/38:24)

Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullâh telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[12]


PELAJARAN DARI AYAT

  1. Tingginya kemuliaan umat Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan memperoleh anugerah kitab Al-Qur‘an yang memuat kebenaran dan hidayah kitab Injil dan Taurat.
  2. Luasnya rahmat Allâh Ta'ala bagi umat Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
  3. Kaum muslimin terbagi menjagi tiga tingkatan dalam beramal.
  4. Pentingnya berlomba-lomba dalam kebajikan.
  5. Orang yang berbuat dosa selain kufur dan syirik tidak kekal di neraka.
  6. Penjelasan mengenai kenikmatan penghuni surga.


Wallahu a’lam.


Marâji‘:

  1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
  2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur‘ân bil-Qur‘ân, Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
  3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
  4. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dâr Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
  5. Kutub wa Rasâ‘il, Min Kunûzil-Qur‘anil-Karîm, ‘Abdul- Muhsin al-Abbâd al-Badr.
  6. Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426 H- 2005 M.
  7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as- Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.



[1] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 689.
[2] Ibid., 689.
[3] Al-Aisar, 2/1061-1062.
[4] Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/568), al-Aisar (1062).
[5] Adhwâul Bayân (6/164).
[6] ibid
[7] Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, 6/568,
[8] Adhwâul Bayân ( 6/164)
[9] Al-Aisar, 2/1062.
[10] Silahkan lihat al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân, 14/302-303.
[11] Kutub wa Rasâ‘il, Min Kunûzil-Qur‘anil-Karîm, 1/282.
[12] Silahkan lihat Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân, 14/304.

(Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII)

Kekeliruan Muncul Saat Berpaling Dari Wahyu

(Tafsir: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)

(Qs. al-Hujurat/49:6-8)

Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada kaum
tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah.
Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan
benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan,
tetapi Allâh menjadikan kalian cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Sebagai karunia dan nikmat dari Allâh.
Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Qs. al-Hujurat/49 : 6-8)

SEBAB TURUNNYA AYAT YANG PERTAMA

Imam Ahmad rahimahullâh meriwayatkannya dalam hadits yang panjang, di antara isinya:

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus al-Walid bin ‘Uqbah untuk menemui al-Harits (bin Abi Dhirar al-Khuza’i dari Bani Musthaliq) untuk mengambil zakat yang sudah dikumpulkan. Tatkala al-Walid telah menempuh beberapa jalan, ia takut dan pulang, kemudian menjumpai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam seraya berkata:

“Wahai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, al-Harits menghalangiku untuk mengambil zakat dan berusaha membunuhku,”

Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyiapkan pasukan menuju al-Harits. Al-Harits datang bersama teman-temannya (menuju Madinah). Delegasi (Nabi) menjumpainya dan mengetahuinya : “Itu al-Harits”.

Ketika al-Harits sudah mendekati delegasi tersebut, ia bertanya: “Kalian diperintahkan pergi kemana?”

Mereka menjawab: “Kepadamu (wahai al-Harits),”

Ia bertanya : “Apa sebab?”

Mereka menjawab : “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah kepadamu. Menurutnya, engkau menghalanginya mengambil zakat dan ingin membunuhnya,”

Ia (al-Harits) menampik : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al-haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku”.

Ketika kemudian al-Harits menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata : “Engkau menolak membayar zakat dan ingin membunuh utusanku?”

Ia (al-Harits) menjawab : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al-haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku. Dan tidaklah aku datang (sekarang ini), kecuali karena utusan Rasûlullâh tidak muncul. Aku khawatir kalau hal itu (ketidak hadiran utusan beliau untuk mengambil zakat, Pen) karena adanya kemurkaan dari Allâh Ta'ala dan RasulNya,” maka turunlah ayat ini. [1]

PENJELASAN AYAT

Sebagai penjelasan ayat pertama, kami kutipkan penjelasan dari Syaikh as Sa’di rahimahullâh yang menyatakan :

“Ini juga (merupakan) beberapa adab yang harus dipenuhi dan digunakan oleh orang-orang yang berakal. Yaitu, apabila ada seorang fasik yang datang dengan membawa berita kepada mereka (kaum Muslimin), hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) terhadap beritanya, tidak dengan serta merta mengambilnya begitu saja. Karena tindakan ini bisa mengakibatkan bahaya yang besar dan terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika beritanya dianggap seperti kabar yang dibawa orang jujur lagi adil, dan dilaksanakan kandungannya, maka akan timbul lenyapnya jiwa dan harta tanpa alasan yang dibenarkan, lantaran isi dari berita (yang tidak benar) itu, yang akhirnya menimbulkan penyesalan. Yang wajib dilakukan terhadap berita orang fasik adalah tatsabbut dan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi). Kalau ada bukti dan kondisi yang menunjukkan kejujurannya, maka bisa dilaksanakan dan dibenarkan. Namun apabila mengindikasikan sebuah kedustaan belaka, maka harus diingkari dan tidak perlu diikuti”.[2]

Ayat ini, kendatipun turun berkenaan dengan sebab tertentu, hanya saja kandungannya umum dan menjadi prinsip dasar penting. Maka kewajiban seseorang, komunitas, negara, tidak boleh menerima sebuah berita yang sampai kepada mereka dan tidak melaksanakan substansinya, kecuali setelah tatsabbut dan tabayyun yang tepat. Karena dikhawatirkan akan menimpakan keburukan kepada seseorang ataupun masyarakat tanpa alasan. (Jadi) memegangi prinsip tatsabbut dan tabayyun dalam menyeleksi berita dari seseorang adalah wajib, yang berguna untuk menjaga kehormatan individu-individu dan pemeliharaan terhadap jiwa dan harta mereka. [3]

(Qs. al-Hujurat/49:7)

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasûlullâh

Firman Allâh Ta'ala di atas, maknanya, seperti dikatakan Imam Ibnu Katsir rahimahullâh :

“Ketahuilah bahwa di tengah kalian ada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Agungkan dan muliakanlah beliau. Bersikaplah dengan penuh etika saat bersamanya. Tunduklah kalian pada perintahnya. Sebab beliau orang yang paling mengetahui tentang maslahat bagi kalian dan lebih sayang kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Daya pertimbangan beliau tentang kalian lebih sempurna dari pemikiran kalian, seperti makna firman Allâh Ta'ala :

(Qs. al-Ahzab/33:6)

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.
(Qs. al-Ahzab/33:6)


Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullâh di dalam tafsirnya menyatakan, Allâh ingin mengarahkan pandangan kaum Muslimin (para sahabat, Pen) pada sebuah substansi penting yang mereka lalaikan. Yaitu, tentang keberadaan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di tengah-tengah mereka, dengan wahyu yang turun kepada beliau. Kondisi ini menuntut mereka untuk senantiasa bertutur kata jujur dan bertindak elegan. Kalau tidak, niscaya wahyu akan membuka kedok (kesalahan) mereka secara langsung, jika mereka berdusta.[4]


(Qs. al-Hujurat/49:7)

Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan
benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan

Tentang ayat di atas, Imam at Tirmidzi rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Nadhrah rahimahullâh, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu. Tatkala sahabat yang mulia ini membaca ayat di atas, ia berkomentar :

hadist

Ini nabi kalian, diwahyukan kepada beliau wahyu.
Dan mereka (para sahabat) adalah tokoh-tokoh (dari kalangan) kalian.
Seandainya beliau mengikuti mereka dalam banyak urusan,
niscaya mereka akan terjerumus dalam kesulitan.
Bagaimana dengan kalian sekarang? [5]

Artinya, kalau beliau mentaati mereka dalam setiap perkara yang mereka pandang (baik) dan mereka usulkan, niscaya mereka akan terjerembab dalam berbagai permasalahan yang menyeretnya kepada beragam kesulitan yang tidak terpikul, atau bahkan tidak menutup kemungkinan pada dosa-dosa yang besar. [6] Hal ini seperti kandungan firman Allâh Ta'ala : [7]

(QS al Mukminun/23:71)

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.
(QS al Mukminun : 71)


Manusia, meskipun fitrahnya lurus, ia sangat membutuhkan bimbingan al-Kitab dan Sunnah untuk mengetahui kebaikan. Sebab, ada saja yang tidak diketahui olehnya, sehingga suatu kebaikan dianggap sebagai kejelekan dan sebaliknya. Akhirnya penilaian pun keliru.

Di dalam Shahihain, dari sahabat Huzhaifah radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menceritakan keadaan masa mendatang :

hadist

Orang-orang nantinya akan saling melakukan transaksi jual-beli.
Hampir-hampir tidak ada seorang pun yang amanah.
Sehingga akan didengungkan “di kalangan Bani Fulan ada orang yang amanah,”
maka orang itu dipuji : “Alangkah cerdas, beruntung dan kuat dirinya,”
padahal ia tidak memiliki kadar keimanan seberat biji sawi sekalipun. [8]


Bagaimanapun ketinggian ilmu dan keshalihan seseorang, ada saja kebaikan yang tidak diketahuinya. Ketidaktahuan semacam ini juga terjadi pada generasi terbaik, generasi sahabat. Bagaimana dengan generasi lainnya? Tentu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, merujuk kepada al-Kitab dan Sunnah menjadi keharusan bagi setiap muslim.

Syaikh Abdul Malik Ramdhani rahimahullâh mengatakan[9]:

“Firman Allâh (yang kedua) di atas, redaksinya mengarah kepada sebaik-baik orang yang beribadah kepada Allâh dan memahami syariat-Nya (para sahabat, Pen). Seandainya mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberi penjelasan dari al-Kitab dan Sunnah, niscaya pilihan mereka dalam banyak hal benar-benar akan mengandung kesulitan bagi mereka sendiri. Bagaimana dengan orang yang kualitasnya di bawah mereka?”

Sebagai contoh, ada sebagian sahabat yang mengira, kalau meninggalkan wanita secara mutlak itu menggambarkan sifat ‘iffah dan kesempurnaan dalam beribadah. Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pun melarangnya, karena ada unsur kesulitan yang timbul, selain karena bertentangan dengan fitrah.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu, ia berkata :

hadist

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menolak tabattul[10] dari ‘Utsman bin Mazh’un.
Andai beliau membolehkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.
(Muttafaqun ‘alaih)


Atau riwayat lain yang menceritakan bahwa Mu’adz radhiyallâhu'anhu, tatkala pulang dari Syam, ia sujud di hadapan beliau. Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan:

hadist

“Apa-apaan ini, wahai Mu’adz?”
Dia menjawab,”Aku baru datang dari Syam.
Kedatanganku menepati mereka (orang-orang di sana) sedang sujud
untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka.
Maka aku ingin melakukannya kepadamu,”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Janganlah kalian lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud,
maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” [11]


Dalam hadits di atas, Mu’adz radhiyallâhu'anhu ingin sujud kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai bentuk penghormatan. Namun Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya dan menjelaskan tindakan yang ia anggap baik itu berseberangan dengan prinsip paling penting dalam Islam, yaitu tauhid, sehingga Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengingkarinya.

Maka, tidak diragukan lagi, penghormatan kepada orang-orang yang besar dengan cara bersujud mengandung unsur kesulitan yang besar. Di tambah lagi adanya penyimpangan dalam syariat sehingga merubah tatanan nilai. Realita yang ada, percampuran lelaki dan perempuan tidak dipandang masalah, pembatasan anak disebut sebagai wujud kesadaran ekonomi, saling bersalaman usai shalat fardhu dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang bertentangan dengan aturan agama disangka sebagai bagian dari agama. Sehingga keberadaan wahyu mutlak diperlukan oleh setiap manusia.

(Qs. al-Hujurat/49:7)

Tetapi Allâh menjadikan kalian cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan


Tetapi karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membimbing kalian dan Allâh Ta'ala telah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah di hati-hati kalian, lantaran Allâh memasukkan kecintaan kepada al-haq dan mengutamakannya pada kalbu-kalbu kalian. Dan juga lantaran tegaknya bukti dan petunjuk bagi al-haq yang menunjukkan kebenarannya, hati yang mudah menerima, serta taufik-Nya bagi kalian untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya. Dia menjadikan kalian benci kepada al-kufru dan fusuq, yaitu dosa-dosa besar, serta ‘ishyan, yaitu tingkatan dosa yang di bawahnya melalui rasa benci yang Allâh letakkan di hati-hati kalian dan tiadanya kehendak untuk mengerjakannya, juga melalui tegaknya dalil dan bukti mengenai keburukannya, serta karena fitrah manusia tidak menerimanya.[12]


(Qs. al-Hujurat/49:7)

Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus

Mereka itu (para sahabat Rasûlullâh radhiyallâhu'anhum, Pen) berada di atas jalan yang lurus, mendapatkan petunjuk menuju akhlak yang baik, tidak menyimpang lagi tidak tersesat. [13]


(Qs. al-Hujurat/49:8)

Sebagai karunia dan nikmat dari Allâh.
Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana


Karunia yang dianugerahkan kepada kalian merupakan keutamaan dan kenikmatan-Nya kepada kalian. Allâh Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan hidayah dan manusia yang pantas tersesat. Demikian juga Allâh Maha Bijaksana dalam setiap firman, tindakan dan aturan syariat-Nya, serta takdir-Nya. [14]

Hidayah yang didapat para sahabat merupakan keutamaan dan anugerah dari Allâh Ta'ala bagi mereka. Allâh Maha Mengetahui niat dan kehendak yang ada pada mereka. Allâh Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya, dengan menjadikan para sahabat sebagai manusia-manusia yang pantas menerima kebaikan, dan menjadikan mereka sebagai umat yang paling baik secara mutlak[15]

BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT

Dari ayat-ayat di atas, bisa mengambil beberapa pelajaran penting, sebagai berikut : [16]

Pertama. Kita memahami, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memiliki kedudukan yang tinggi.

Kedua. Wajib bagi kita melakukan tatsabbut dalam menyikapi berita-berita penting yang bisa mengakibatkan timbulnya gangguan atau bahaya atas diri seseorang berkaitan dengan berita yang kita dengar.

Ketiga. Diharamkan bersikap tergesa-gesa yang dapat mengakibatkan seseorang menghukumi sesuatu dengan dasar persangkaan belaka, sehingga pelakunya nanti akan menyesal di dunia dan akhirat.

Keempat. Di antara kenikmatan besar yang diraih seorang mukmin, bahwa Allâh menjadikannya cinta terhadap keimanan kepada-Nya, dan menjadikan (iman itu) indah di hatinya.

Kelima. Allâh menjadikannya benci kepada tindakan kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dengan itu, seorang mukmin menjadi insan yang paling lurus setelah para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Washallâhu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

Tafsir Surat Al-Qâri’ah

(Oleh: Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali)

Qs. al-Qari'ah

1. Hari Kiamat.
2. Apakah hari Kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti kupu-kupu yang bertebaran.
5. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya,
9. maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.


Surat yang mulia ini adalah makkiyah, dan ayat-ayatnya berjumlah sebelas ayat.[1]

Pada ayat yang pertama sampai ketiga, Allâh Ta'ala mengulang-ulang kata al-Qâri’ah (القَارِعَةُ). Diawali dengan kalimat pernyataan atau berita, kemudian dilanjutkan dengan dua kali kalimat pertanyaan. Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama, hal ini merupakan pengagungan Allâh Ta'ala terhadap betapa besar dan dahsyatnya hari Kiamat.[2]

Banyak penjelasan para ulama terhadap penafsiran makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), yang seluruhnya kembali kepada satu makna, yaitu as-Sa’ah (hari Kiamat).[3]

Secara lebih luas, Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullâh mengatakan:

"Telah dijelaskan oleh Syaikh[4] -semoga Allah merahmati kami dan beliau-pada awal surat al-Wâqi’ah[5] (الوَاقِعَةُ), bahwa (al-Wâqi’ah) bermakna seperti ath-Thâmmah[6] (الطَّامَّةُ), ash-Shâkh-khah[7] (الصَّاخَّةُ), al-Âzifah[8] (الآزِفَةُ), dan al-Qâri’ah[9] (القَارِعَةُ)… dan telah diketahui (dalam bahasa Arab) bahwa sesuatu apabila besar (dahsyat) keadaannya, ia memiliki banyak nama.

Atau sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Ali radhiyallâhu'anhu (ia berkata), banyaknya nama (pada sesuatu) menunjukkan agungnya perkara tersebut. Juga telah diketahui, bahwa nama-nama tersebut bukanlah sinonim, karena sesungguhnya setiap nama memiliki makna tersendiri. Hari Kiamat dinamakan al-Wâqi’ah (الوَاقِعَةُ), karena hari itu pasti kejadiannya. Juga dinamakan al-Hâqqah[10] (الحَاقَّةُ) karena hari itu nyata dan benar adanya. Juga dinamakan ath-Thâmmah (الطَّامَّةُ), karena bencana, malapetaka dan kehancuran pada hari itu sangat umum dan menyeluruh. Juga dinamakan al-Âzifah (الآزِفَةُ), karena kejadian hari itu sudah dekat, (hal ini) seperti iqtarabatis sa’ah[11] (اِقْتَرَبَتِ السَّعَةُ). Demikian pula surat ini (al-Qâri’ah, Pen).

Lafazh al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), berasal dari al-Qar’u (القَرْعُ) yang bermakna adh-Dharb (الضَّرْبُ), yakni pukulan. (Sehingga, penamaan hari Kiamat dengan nama ini) sesuai dengan penjelasan pada ayat berikutnya yang menerangkan, bahwa hari itu melemahkan seluruh kekuatan manusia, hingga manusia bagaikan kupu-kupu yang bertebaran, juga melumpuhkan kekuatan gunung-gunung, hingga gunung-gunung itu bagaikan bulu yang berhamburan.[12]

Dari penjelasan di atas, menjadi jelaslah bahwa makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ) adalah hari Kiamat, yang pada saat itu terjadi kehancuran, bencana, dan malapetaka yang amat besar. Makna ini, seperti ditunjukkan firman Allâh Ta'ala :

QS ar-Ra’d/13:31

… dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana
disebabkan perbuatan mereka sendiri…
(Qs. ar-Ra’d/13:31)


Pada ayat keempat surat al-Qâri’ah ini, Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Qari'ah/101 : 4

Pada hari itu manusia adalah seperti kupu-kupu yang bertebaran


Terdapat tiga pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan makna al-Farasy (الفَرَاشُ) pada ayat ini.

Pertama, maknanya ialah belalang-belalang kecil yang beterbangan dan saling bercampur-baur antara satu dengan lainnya.[13] Makna ini ditunjukkan oleh firman Allâh Ta'ala :

(QS al Qamar/54:7)

…seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.
(QS al-Qamar/54:7)


Kedua, maknanya ialah sejenis burung kecil atau serangga kecil, bukan nyamuk dan bukan pula lalat.[14]

Ketiga, maknanya ialah sesuatu yang berjatuhan dan bertebaran di sekitar api,[15] baik berupa nyamuk ataupun serangga-serangga kecil lainnya.[16]

Terdapat sebuah hadits shahih yang menunjukkan makna yang ketiga ini. Yaitu hadits Jabir bin Abdillah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

hadits

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seseorang yang menyalakan api,
lalu mulailah laron-laron dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu,
sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut.
Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian
agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka,
namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku”.[17]


Pada ayat kelima, Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Qari'ah/101:05

Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan


Sebagian besar ulama menafsirkan lafazh al-‘Ihn (العِحْنُ) dengan makna ash-Shuf (الصُّوؤُ). Yaitu bulu atau kapas.[18]

Berdasarkan penjelasan ayat keempat dan kelima di atas, dapat kita pahami, salah satu kejadian yang dahsyat pada hari Kiamat adalah berubahnya keadaan manusia, sehingga ia bagaikan kupu-kupu atau belalang yang beterbangan, bertebaran dengan bercampur-baur dan tidak tentu arahnya. Demikian pula dengan gunung-gunung yang sebelumnya berdiri tegak dan kokoh, maka pada hari itu, gunung-gunung bagaikan bulu berhamburan. Seluruh makhluk Allâh Ta'ala yang kuat dan kokoh, pada saat itu kehilangan seluruh kekuatannya, karena demikian dahsyatnya hari Kiamat.[19]

Bentuk lain dahsyatnya hari Kiamat, disebutkan pula dalam firman Allâh Ta'ala :

Qs. al-Hajj/22 : 1-2

(Qs. al-Hajj/22 : 1-2)


1. Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu!
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
2. (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya
dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil,
dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,
akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras.


Hari Kiamat itu, juga merendahkan satu golongan dan meninggikan yang lainnya. Firman Allâh Ta'ala :

QS al Waqi’ah/56 : 3

(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).
(QS al Waqi’ah/56:3)


Pada hari itu, membuat seluruh manusia teringat segala yang pernah dilakukannya selama hidupnya di dunia. Allâh Ta'ala berfirman :

QS an-Nazi’at/79:35

Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.
(QS an-Nazi’at/79:35)


Pada hari itu, seluruh manusia sibuk dengan urusannya, sampai-sampai ada yang lupa terhadap sanak familinya. Di antara manusia ada yang senang dan berseri-seri dengan sebab amal shalih yang mereka lakukan saat di dunia, yang akhirnya mengantarkannya ke surga. Tetapi sebagian lagi berwajah muram dan bersedih, disebabkan oleh amal-amal buruk yang telah mereka lakukan. Manusia pun mengetahui tempat mereka tinggal nantinya.[20]

Ditunjukkan dalam firman Allâh Ta'ala dalam surat ‘Abasa/80 ayat 34-42:

34. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
35. dari ibu dan bapaknya,
36. dari isteri dan anak-anaknya.
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
39. tertawa dan bergembira ria.
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
41. dan ditutup lagi oleh kegelapan.
42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.


Demikianlah keadaan manusia pada hari Kiamat.

Adapun keadaan gunung-gunung secara khusus pada hari itu, sebagaimana dijelaskan para ulama,[21] mula-mulanya gunung-gunung digerakkan dan dipindahkan dari tempatnya, kemudian benar-benar diluluh-lantakkan bagaikan bulu-bulu yang dihambur-hamburkan, sebagaimana diterangkan pada ayat kelima surat al-Qari'ah ini, hingga akhirnya gunung-gunung itu menjadi debu yang bertebaran dan bahkan menjadi fatamorgana.

Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan,
dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.
(QS al Muzzammil/73:14)


Dan dijalankanlah gunung-gunung,
maka menjadi fatamorganalah ia.
(QS an Naba‘/78:20)


Maka, sudah seharusnya kita senantiasa bertakwa dan takut kepada Allâh Ta'ala, Yang Maha Perkasa dan Berkuasa atas segala sesuatu.

Pada ayat keenam, Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Qari'ah/101 : 6

Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya


Ayat ini menunjukkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkaitan dengan rukun iman kelima. Bahwa salah satu perwujudan beriman kepada hari akhir adalah meyakini adanya mizan (timbangan) pada hari Kiamat kelak. Barangsiapa yang berat amalan kebaikannya, maka akan mendapatkan kehidupan yang baik, dan demikian sebaliknya.[22]

Di antara dalil lainnya dari al Qur‘an yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada hari Akhir, yaitu firman Allâh Ta'ala , yang artinya:

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat,
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun,
dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya,
dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
(QS al-Anbiya‘/21:47)


Begitu pula banyak hadits shahih yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada Hari Akhir, sebagaimana hadits-hadits berikut ini.

Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

hadits

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“(Ada) dua perkataan yang ringan, (namun) berat dalam mizan (timbangan)
dan dicintai oleh ar-Rahman (Allâh Ta'ala ),
(yaitu) Subhanallahi wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya),
Subhanallahil ‘Azhim (Maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.[23]


Hadits Abu ad-Darda’ radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

hadits

Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam mizan (timbangan) dari akhlak yang baik.[24]


Pada ayat ketujuh, Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Qari'ah/101 : 7

Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan


Para ulama menjelaskan, yang dimaksud dengan kehidupan yang memuaskan adalah kehidupan di surga.[25]

Banyak ayat yang menerangkan kehidupan yang penuh kenikmatan bagi para penghuni surga, di antaranya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Insan/76 ayat 10-22, yang artinya:

10. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari
yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
11. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu,
dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
12. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka
(berupa) surga dan (pakaian) sutera.
13. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan,
mereka tidak merasakan di dalamnya (terik) matahari
dan tidak pula dingin yang bersangatan.
14. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka
dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.
15. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak
dan piala-piala yang bening laksana kaca,
16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak
yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
17. Di dalam surga itu, mereka diberi minum segelas (minuman)
yang campurannya adalah jahe,
18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
19. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda,
apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan
20. Dan apabila kamu melihat di sana (surga),
niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal
dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak,
dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).


Dan masih banyak ayat lain yang menerangkan beragam kenikmatan yang diperoleh para penghuni surga. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita termasuk para penghuni surga-Nya. Amin.


Kemudian, pada ayat kedelapan sampai ayat terakhir, Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. al-Qari'ah/101 : 8-11

8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.


Terdapat tiga penafsiran di kalangan para ulama terhadap makna ayat kesembilan.

Pertama, maknanya adalah, ia jatuh dan masuk ke dalam neraka dengan ujung kepalanya lebih dahulu.[26]
Kedua, ayat tersebut merupakan ungkapan dalam bahasa Arab, dilontarkan bagi orang yang terjatuh ke dalam permasalahan yang berat dan menyulitkan.[27]
Ketiga, maknanya, tempat tinggal dan kembalinya adalah neraka.[28] Sehingga, menurut penafsiran yang ketiga ini, hawiyah (هَاوِيَة) merupakan salah satu dari nama-nama neraka.[29]

Adapun sebab penamaan neraka ini dengan ummuhu (أُمُّهُ), yakni ibunya, karena neraka tersebut sebagai satu-satunya tempat kembalinya. Seolah-olah neraka tersebut adalah ibunya yang merupakan tempat kembalinya seorang anak.[30]

Tiga penafsiran para ulama di atas tidaklah saling bertentangan, bahkan saling mendukung dan menjelaskan makna lainnya.[31]

Terdapat sebuah hadits mauquf[32] yang menunjukkan tentang tiga penafsiran di atas, yaitu hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallâhu'anhu, beliau berkata :

hadits
hadits

Apabila seorang hamba telah mati,
ahlurrahmah (hamba-hamba Allah yang penuh kasih sayang)
menemuinya seperti orang-orang di dunia menemui pembawa berita gembira.
Mereka menghampirinya untuk menanyainya.
Lalu sebagian mereka berkata,
“Tunggulah saudara kalian ini, biarkan ia beristirahat, karena ia masih lelah”.
Lalu mereka pun menghampirinya dan bertanya kepadanya,
“Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulanah? Apakah ia sudah menikah?”.
Lalu tiba-tiba mereka bertanya tentang seseorang yang telah mati sebelumnya,
ia menjawab, “Ia telah binasa”.
Mereka berkata, “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un
(sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya),
ia telah kembali kepada ibunya (neraka),
sungguh itu seburuk-buruk ibu dan seburuk-buruk pendidik”.
Lalu ditunjukkanlah seluruh perbuatan mereka.
Jika mereka melihat amal mereka baik,
mereka gembira dan senang, lantas berkata,
“Inilah kenikmatan-Mu atas hamba-Mu, maka sempurnakanlah”.
Dan jika mereka melihat amal mereka buruk, mereka berkata,
“Ya Allah, lihatlah (periksalah) kembali hamba-Mu”.[33]


Ayat terakhir (kesebelas) surat yang agung ini, diterangkan oleh para ulama, juga merupakan penafsiran dari lafazh hawiyah ( ) pada ayat sebelumnya.[34]

Ada beberapa hadits shahih yang maknanya berkaitan erat dengan ayat terakhir ini, di antaranya sebagai berikut :

Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

hadits

Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Api kalian ini, yang dinyalakan manusia
hanyalah sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya neraka Jahannam”.
Mereka berkata: “Demi Allah, api ini sudah cukup (panas), wahai Rasûlullâh!”.
Beliau bersabda,”Sesungguhnya api neraka Jahannam lebih (panas) sebanyak enam puluh sembilan kali (dari api di dunia).
Tiap-tiap bagiannya sama panasnya”.[35]


Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

hadits

Aku mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya adzab penghuni neraka yang paling ringan pada hari Kiamat adalah,
seseorang diletakkan dua buah bara di tengah-tengah kedua telapak kakinya,
(lalu) mendidihlah otaknya disebabkan dua bara itu.”[36]


Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

hadits

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apabila panas menyengat, maka undurkan shalat sampai waktu sejuk,
karena sesungguhnya panas yang menyengat berasal dari hawa Jahannam”.[37]


Mudah-mudahan Allâh Ta'ala senantiasa melindungi dan menjauhkan kita dari segala hal yang dapat mengantarkan kepada panasnya api neraka Jahannam.

Demikianlah tafsir surat al-Qâri’ah, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menambah iman, ilmu dan amal shalih kita. Wallahu A’lam bish- Shawab.

[1]

Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152), Zadul Masir (9/213), Tafsir Ibnu Katsir (8/468),

[2]
Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152-153), Zadul Masir (8/345-346), Tafsir Ibnu Katsir (8/468).
[3]
Di antaranya adalah al Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya (30/340), beliau membawakan beberapa riwayat dengan sanad-sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, Qatadah, dan Waki’. Mereka semua mengatakan bahwa makna al-Qâri’ah ( ) adalah as-Sa’ah ( ), yakni hari Kiamat.
[4]
Maksudnya adalah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullâh (1320-1393 H).
[5]
Surat al Waqi’ah/56 ayat 1.
[6]
Surat an Nazi’at /79 ayat 34.
[7]
Surat ‘Abasa/80 ayat 33.
[8]
Surat an Najm/53 ayat 57.
[9]
Surat al-Qâri’ah/101 ayat 1-3.
[10]
Surat al Haqqah/69 ayat 1-3.
[11]
Surat al-Qamar/54 ayat 1. Yang artinya, telah dekat saat itu (yakni, hari Kiamat).
[12]
Adhwa’ul-Bayan (9/70).
[13]
Lihat al-Jami’ li Ahkamil-Qur‘an (20/152), Tafsir Ibnu Katsir (8/468).
[14]
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71).
[15]
Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341). Al-Imam ath-Thabari berkata dengan pendapat ini.
[16]
Lihat Zadul Masir (9/214).
[17]
HR Muslim (4/1790 no. 2285), dan lain-lain. Hadits ini dibawakan pula oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullâh di dalam tafsirnya (20/153). Lihat pula Adhwa’ul-Bayan (9/71-72).
[18]
Lihat Tafsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/153), Zadul Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71).
[19]
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71).
[20]
Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/325-327), surat ‘Abasa/80 ayat 34-42.
[21]
Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), Zadul-Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71), Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192).
[22]
Lihat contohnya dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, halaman (240), dan Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (2/636-640) untuk pembahasan lebih luas dalam masalah ini.
[23]
HR al Bukhari (5/2352, 6/2459, 2749), Muslim (4/2072 no. 2694), dan lain-lain.
[24]
HR Abu Dawud (4/253 no. 4799), at-Tirmidzi (4/362-363 no. 2002, 2003) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al- Albani. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah (2/535 no. 876).
[25]
Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192).
[26]
Demikian pendapat Abu Shalih, Qatadah, dan Ikrimah. Lihat pula Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154), Tafsir Ibnu Katsir (8/468).
[27]
Ini juga pendapat Qatadah. Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342).
[28]
Ini pendapat Ibnu Zaid, al Farra’, Ibnu Qutaibah, dan az-Zajjaj. Pendapat ini didukung oleh al Imam Ibnul Jauzit di dalam tafsirnya, Zadul-Masir (9/215).
[29]
Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Adhwa’ul-Bayan (9/74).
[30]
Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342) dan al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154).
[31]
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74).
[32]
Yaitu hadits yang hanya sampai pada sahabat, tidak sampai pada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
[33]
Syaikh al-Albani rahimahullâh di dalam as-Silsilah ash-Shahihah (6/604-607 no. 2758) berkata, “(Hadits ini) dikeluarkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (149/443)..., ath-Thabrani dalam al- Mu’jamul-Kabir (4/153-154/3887-3888)..., al-Hakim (2/533)...”.
[34]
Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74).
[35]
HR al-Bukhari (3/1191), Muslim (4/2184 no. 2843), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim.
[36]
HR al Bukhari (5/2400), Muslim (1/196 no. 213), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim.
[37]
HR al Bukhari (1/198, 199), Muslim (1/430 no. 615), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim
Sumber (majalah As sunnah)

Blog Archive

www.voa-islam.com

About Me

Foto Saya
Abu Syifa
Tidak ada simpanan yang lebih berguna daripada ilmu. Tidak ada sesuatu yang lebih beruntung daripada adab. Tidak ada kawan yang lebih bagus daripada akal. Tidak ada benda ghaib yang lebih dekat daripada maut.
Lihat profil lengkapku

Kajian.net

Kajian.Net

Love Islam ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO