Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Mei 2012

Golongan yang Masuk Surga Tanpa Hisab Dan Adzab[1]

(Hadits: Majalah As-Sunnah )

عَنْ حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ الشَّعْبِـيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ أَنَّهُ قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَـيَّ اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فإِذَا سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ

Dari Hushain bin Abdurrahman berkata:

"Ketika saya berada di dekat Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?"

Saya menjawab:

"Saya.”

Kemudian saya berkata:

"Adapun saya ketika itu tidak dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan kalajengking."

Lalu ia bertanya:

"Lalu apa yang anda kerjakan?"

Saya menjawab:

"Saya minta diruqyah"

Ia bertanya lagi:

"Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?"

Jawabku:

"Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya'bi kepada kami."

Ia bertanya lagi:

"Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada anda?"

Saya katakan:

"Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib:

'Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain atau terkena sengatan.'."

Sa'id pun berkata:

"Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan nash yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:

'Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya:

"Itu adalah Musa dan kaumnya".

Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya:

"Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.".'

Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya,

'Siapakah gerangan mereka itu?'

Ada diantara mereka yang mengatakan:

'Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.'

Ada lagi yang mengatakan:

'Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.'

dan menyebutkan yang lainnya.

Ketika Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:

'Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.'

Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata:

'Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'

Beliau menjawab:

'Engkau termasuk mereka'

Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:

'Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'

Beliau menjawab:

'Kamu sudah didahului Ukasyah.'."



TAKHRIJ HADIST

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.


BIOGRAFI SINGKAT RAWI DAN SAHABAT YANG TERDAPAT DALAM HADITS

  1. Hushain bin Abdurrahman, beliau adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kûfi, seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136 H pada usia 93 tahun.
  2. Sa'id bin Jubair, beliau adalah seorang imam yang faqih termasuk murid senior Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu. Periwayatannya dari Aisyah radhiyallâhu'anha dan Abu Musa adalah mursal, beliau seorang pemimpin Bani As'ad yang dibunuh oleh Al-Hajâj bin Yusuf ats-Tsaqafiy tahun 95 H dalam usia 50 tahun.
  3. Asy-Sya'bi, beliau bernama Amir bin Surahil al-Hamadani, dilahirkan pada masa kekhalifahan Umar radhiyallâhu'anhu dan termasuk tabi'in terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
  4. Buraaidah bin al-Hushaib, beliau adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut pendapat Ibnu Sa'ad.
  5. Ukasyah bin Mihshon radhiyallâhu'anhu, beliau berasal dari Bani As'ad bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam Islam. Beliau hijrah dan menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya. Beliau mati syahid dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H. Kemudian Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada hari Al-Qadisiyah bersama Sa'ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi'atûl Jasri'al-Mashurah.



KEDUDUKAN HADITS

Hadits ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya :

  • Pentingnya beramal dengan dalil,
  • Penjelasan tidak semua Nabi punya pengikut, dan
  • Penjelasan mengenai golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.



KETERANGAN HADITS

  1. Beramal dengan dalil.

    Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu meminta ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil. Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib

    "Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".
  2. Jumlah pengikut Nabi.

    Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, berisi keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan seorang nabi yang tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada beliau sekelompok manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi Musa 'alaihissalam. Kemudian baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.
  3. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:

    "Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."

    Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:

    "Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".

    Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:

    "Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini:

    "Sanadnya jayyid (bagus)".

    Mereka itu adalah orang-orang yang:


A. Tidak minta diruqyah.

Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"Ini merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:

“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat"

dan bersabda:

"Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya."

Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:

"Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik."

Beliau berkata pula:

"Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.


B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)

Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang menimpa mereka.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:

"Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.

Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:

Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.

Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :

Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”

Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:

Sesungguhnya Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu':

“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: "Dan saya tidak menyukai kay").

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4 hal yaitu:

  1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
  2. Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
  3. Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
  4. Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.


C. Tidak Melakukan Tathayyur

Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.


4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh


Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.

Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja' (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha'-Nya.

Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya."
(Ath-thalaq: 3)

Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.

Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.

Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah radhiAllâhu’anhu secara marfu'.

”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”


Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"

Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah, sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.”
(HR. Ahmad)

Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.

Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i. Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.

Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya."

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”


5. Kisah 'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah

'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam supaya mendo'akannya masuk dalam golongan orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Engkau termasuk dari mereka." Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo'a: "Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka."

Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului 'Ukasyah."

Berkata Al-Qurthubi: "Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti 'Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido'akan dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu Syaikh: "Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”



FAIDAH-FAIDAH HADITS:

  1. Beramal dengan berdasarkan dalil yang ada.
  2. Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
  3. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
  4. Kebenaran itu tidak dilihat pada banyaknya pengikut tetapi kualitasnya.
  5. Keistimewaan umat Islam dengan kualitas dan kuantitasnya.
  6. Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ain dan sengatan.
  7. Di dalam hadits terdapat penjelasan manhaj salaf. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Sa'id bin Jubair: "Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan hadits yang telah ia dengar." Dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
  8. Tidak minta diruqyah (tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang benar.
  9. Sikap tawakkal kepada Allâh lah yang mendasari sikap tersebut
  10. Dalamnya ilmu para shahabat. Karena mereka mengetahui orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian kecuali dengan amalan.
  11. Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan.
  12. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah yang tidak minta diruqyah, dikay dan tidak melakukan tathayyur serta bertawakkal kepada Rabb dengan sempurna.
  13. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : "Kamu termasuk golongan mereka," adalah salah satu tanda kenabian beliau.
  14. Keutamaan 'Ukasyah
  15. Penggunaan kata sindiran: "Kamu sudah kedahuluan 'Ukasyah." Tidak berkata: "Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke golongan mereka."
  16. Keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Disadur dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62) karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh.

Adab Duduk di Pinggir Jalan

(Oleh: Ahmad Hamidin As-Sidawy)

عَنْ أَبِـي سَعِيدٍ الْـخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَـجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنْ أَبَـيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ كَفُّ الأَذَى
وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ

Dari Abu Said Al-Khudry radhiallahu’anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

"Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan".

Maka para Sahabat berkata:

"Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap".

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam berkata:

"Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan".

Sahabat bertanya:

"Apakah hak jalan itu?"

Beliau menjawab:

"Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."

Hadits di atas menjelaskan, sekaligus membenarkan waqi' (kenyataan) pahit yang melanda umat ini. Di mana mayoritas kaum muslimin sekarang banyak menghabiskan waktunya untuk nongkrong di tempat-tempat keramaian atau tepi jalan, sambil menikmati kemaksiatan dengan model dan corak yang bermacam-macam. Kalau kita tanya, mereka akan menjawab, "Hanya cuci mata, refreshing, menikmati pemandangan" dan yang semisalnya.

Padahal ketika kita ajak mereka untuk hadir di majelis ta'lim, mengaji agama, merekapun beralasan sibuk, capek, tidak punya waktu dan setumpuk alasan lain. Bahkan karena kebenciannya dengan ilmu agama, tidak jarang di antara mereka ada yang sengaja beralasan sakit, padahal tubuhnya sehat.

Ini adalah realita pahit yang menimpa kaum muslimin sekarang ini, khususnya muda-mudi kita. Sebagian mereka melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allâh. Merekapun lupa, waktu adalah modal utama yang tak akan pernah kembali lagi jika sudah berlalu. Sedangkan kebahagiaan dan kecelakaan hamba di akhirat sangat bergantung kepada cara mengisi kehidupannya di dunia ini.

Apakah mereka tidak sadar, pekerjaan mengumbar hawa nafsu itu akan mengundang murka Allâh Ta’ala dan semakin menjauhkan mereka dari hidayah serta petunjuk-Nya? Tidakkah mereka renungi, kelak mereka akan dimintai pertanggung-jawaban tentang kesempurnaan nikmat (indra) yang mereka miliki?

Alangkah bahagianya orang yang menghabiskan umurnya dalam ketaatan kepada Allâh Ta’ala, orang yang menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan kesia-siaan.


MAKNA LAFAZH HADITS

إِيَّاكُمْ
Adalah kalimat yang digunakan untuk mentahdzir (memberikan peringatan keras) terhadap sesuatu.
الطُّرُقَاتِ
Adalah jama' dari طرق, mufrodnya adalah طريق sehingga kalimat ini adalah merupakan جمع الجمع (dobel jama').
لا بُدَّ

Tempat menghindar atau lari.

الكَفُّ
Yaitu menahan.[1]
غَضُّ البَصَرِ
Menundukkan pandangan dari yang diharamkan.
رَدُّ السَّلاَمِ
Menjawab salam orang yang lewat.
كَفُّ الأَذَى
Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.[2]

ASBABUL WURUD HADITS

Dari Aisyah radhiyallâhu'anha, ia berkata: “Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam (suatu ketika) mendatangi majelis kaum Anshor, lalu mengucapkan salam kepada mereka, merekapun menjawab salam. Nabi tidak menyukai majelis itu, lalu merekapun mengatakan: ‘Wahai Rasûlullâh, (ini) adalah majelis yang dilakukan oleh bapak-bapak kami dulu di waktu jahiliyah, maka kami ingin meramaikannya dengan duduk-duduk padanya’. Lalu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan: ‘Jika kalian enggan kecuali dengan bermajelis maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan dan tunjukilah jalan.’”[3]


TAKHRIJ HADITS

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Adâbul Mufrad No.1150, Muslim (Muktasharnya) dalam kitab: Adab, Bab Larangan Duduk di Jalan no. 1419 hal: 374. Abu Dawud dalam Bab Duduk di Jalan (4816).[4]

Hadist yang semakna juga di keluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Musykilil Atsar 1/58, dan Al- Bazâr dalam Musnadnya, 2/425/2018 (Kasyful astar) dari jalan Muhammad bin Al-Mutsana dan Yazid bin Sinaan, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sinaan dari Abdullah bin Mubarak dari Jarir bin Hazim dari Ishaq bin Suwaid dari Ibnu Hujairoh dari Umar, dengan lafadz:

إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ فِـيْ الصُعَدَاتِ فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْـنَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قِيْلَ وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَإِرْشَادُ الضَالِ

Jauhilah oleh kalian duduk di jalan,
jika kalian mesti berbuat demikian, maka berilah hak jalan".
Ada yang bertanya: "Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab:
"Menundukan pandangan, menjawab salam,
dan menunjuki orang yang tersesat."

Syeikh Al-Albaniy berkata dalam Silsilah Ahadits Shohihah 6/11-13: "Hadist ini shohih. Hadits ini terdapat di dalam Shohihaini dan Adabul Mufrod 1150, Abu Dawud 4815, Ibnu Hibban 594, dan Ath- Thahawy dan Ahmad 3/36 dari Said Al-Khudry semisalnya secara marfu'. Demikian juga diriwayatkan oleh Imam Muslim 7/2 dari hadits Abu Tolhah tanpa lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ (menunjukkan orang yang tersesat).

Dan Abu Said menambahkan :

وَ كَفُّ الأَذَى وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ

Menyingkirkan gangguan, menjawab salam,
memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar.

Dan dalam riwayat Ahmad 3/61 dari jalan Abdurrozaq di dalam Al-Musonnaf 11/20/19786, dari seorang rowi dari Abi Said, dengan mengganti lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ dengan lafadz: وَأَرْشِدُوْا السَّائِلِ dan lafadz (ini) adalah semakna dengan lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ.

Hadits yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari Abi Huroiroh, Barro' bin Azib, Abdullah bin Abbas dan Sahl bin Saad.

I.

Hadist Abi Huroiroh mempunyai dua jalan:

a.
Dari Ala' bin Abdurrohman dari bapaknya dari Abi Hurairoh: ia menyebutkan hadits tersebut dengan lafadz:

إِدْلاَلُ السَّائِلِ وَرَدُّ السَّلاَمِ وَغَضُّ الْبَصَرِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ

Menunjuki orang yang bertanya, menjawab salam,
menundukkan pandangan, memerintah kan yang baik
dan mencegah yang mungkar.

(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod (1049)

Aku (Al-albany) berkata: "Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim."

b.
Dari Abdirrohman bin Ishaq dari said Al-Maqburiy dari Abi Huroiroh dengan lafadz:

وَغَضُّ الْبَصَرِ , وَإِرْشَادُ ابْنِ السَّبِيْلِ ,تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ إِذَا حَمِدَ اللهَ ,وَرَدُّ التَّحِيَّةِ

Menundukan pandangan, menunjukkan Ibnu sabil, mendoakan orang yang bersin apabila dia mengucapkan hamdallâh, dan menjawab salam.

Hadist ini juga di riwayatkan oleh Imam Bukhari (1014), Abu Dawud (4816), Ibnu Hibban (595). Dan sanadnya jayyid (bagus) menurut syarat Muslim.

II.

Hadist Barro' diriwayatkan oleh Syu'bah dan yang lainya dari Abi Ishaq dari Abu Hurairoh dengan lafadz:

فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ

Maka jawablah salam, dan tolonglah orang yang teraniaya,
dan tunjukkanlah jalan.

(Hadist ini di keluarkan oleh Timidzi: 2727, Ad-Darimy: 2/282, Ibnu Hibban: 596, juga Ath-Thahawy,
Ahmad 4/282, 291, 393, 304.)

At-Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits hasan."

Aku (Al-Albany) berkata: "Ini adalah hadits shohih karena shayid-syahidnya (penguat-penguat) yang terdahulu. Sedangkan kalimat وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ (tolonglah orang yang teraniaya) juga tersebut di dalam Shohihaini dari jalan lain dari Barro' dengan lafadz:

أُمِرْنَا بِسَبْعٍ ... (الحديث)

Kami diperintahkan untuk mengerjakan tujuh perkara……
(al-hadits)".


Dan Imam Muslim menyebutkan dalam riwayatnya 6/135 dengan lafadz إِرْشَادُ الضَّالِ (menunjukkan orang yang tersesat).

III.

Hadist Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Laila dari Dawud bin Ali dari bapaknya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Abbas dengan lafadz:

فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَ غَضُّوْا البَصَرَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ

Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan,
tunjukilah jalan serta tolonglah beban seseorang.

Hadist ini di keluarkan oleh Al-Bazaar 2019 dan berkata: "Kami tidak mengetahui dari Ibnu Abbas selain dari jalan ini, dan telah diriwayatkan dari jalan lain dengan beberapa lafadz. Tetapi kami tidak mengetahui hadits: وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ (tolonglah beban seseorang) selain hadits ini. Adapun Dawud tidak kuat dalam haditsnya dan jangan dianggap dia selalu benar haditsnya, tetapi dapat ditulis manakala perawi lain tidak ada yang meriwayatkan."

Aku Al-Albany berkata: "Dan Ibnu Abi Laila –namanya adalah Muhammad bin Abdirrohman– jelek hafalannya, sebagaimana cacat tersebut telah diterangakan oleh Al-Haitsamy. Ia mengatakan seperti apa yang di katakan oleh Ibnu Hajar dalam Zawaid Al- Bazzar 2/211.

IV.

Hadits Sahl, diriwayatkan oleh Abu Ma'syar, dia berkata: Abu Bakr bin Abdirrohman Al-Anshori telah menceritakan kepada kami dari Sahl, dengan lafadz:

قَالُوْا : وَمَا حَقُّ الْـمَجْلِسِ؟ قَالَ ذِكْرُ اللهِ كَثِيْـرًا وَإِرْشَادُ السَّبِيْلِ, وَغَضُّ الْبَصَرِ

Mereka bertanya: "Apa hak majelis?", Rasulullah menjawab: "Banyak mengingat Allâh, menunjukkan jalan,
dan menundukan pandangan."

(Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony
dalam Al-Kabir 6/105/5592)


Adapun hadits Wahsyi, diriwayatkan oleh Wahsyi bin Harb bin Wahsyi dari bapaknya dari kakeknya dengan lafadz:

فَرَدُّوْا السَّلاَمَ , وَغَضُّوْا مِنْ أَبْصَارِكُمْ ,وَاهْدُوْا اْلأَعْمَى ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ

Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan kalian
dan tunjukkilah orang yang buta [5] serta tolonglah orang yang teraniaya.

(Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony juga 22/138/367)


Al-Haitsamy berkata: "Perawinya adalah terpercaya, dan sebagiannya adalah lemah".

Aku (Al-albany) berkata: "Harb bin Wahsyi tidaklah dikuatkan kecuali oleh Ibnu Hibban 4/173, dia mempunyai kesamaran, seperti yang saya jelaskan dalam kitab Taisiril Intifa'."[6]


BIOGRAFI PERAWI HADITS

Untuk lebih berfaedah dan mempermudah kita dalam memahami kandungan satu hadits, maka perlu mengetahui biografi perawi hadits, untuk menambah keyakinan dan kemantapan dalam mengamalkannya. Manfaat lain, kita dapat mengenal hal ihwal para sahabat yang dapat menambah kecintaan kita terhadap mereka.

Perawi hadits ini, seorang sahabat yang terkenal yaitu Said bin Malik bin Sinaan Al-Anshory Al-Khozrojy Al-Khudry, dikenal juga dengan kunyahnya yaitu Abu Said. Beliau seorang ahli fiqh, mujtahid dan pernah menjabat mufti Madinah. Beliau selalu mendampingi Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau berperang bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebanyak 12 kali, di antaranya perang Khondak, Bai'atur Ridwan dan lain-lain. Meninggal di kota Madinah padah tahun 74 H. Sedangkan bapaknya bernama Malik meninggal di perang Uhud.[7]


PENJELASAN MAKNA HADITS

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang umatnya duduk di jalanan, baik di atas ranjang, kursi atau hanya di atas tanah, baik yang beralas atau tidak. Larangan tersebut akhirnya dirasakan berat oleh para sahabat, sehingga mereka mengadu kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sembari mengatakan:

"Wahai Rasûlullâh, ini adalah kebiasaan kami dalam memperbincangkan sesuatu masalah, baik yang berhubungan dengan agama, dunia atau kebaikan yang lainnya. Kami merasa senang dengan hal ini."

Sebenarnya para sahabatpun memahami, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam tidaklah bermaksud melarang mereka secara mutlak apalagi mengharamkan perbuatan mereka. Karena larangan itu sebenarnya tidak ditujukan kepada perbuatan mereka, akan tetapi ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan hak orang yang lewat di jalan. Oleh karena itu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka, ketika mereka mau memperhatikan apa yang menjadi hak jalan.

Di antara hak jalan tersebut adalah:

1. Menundukan pandangan.

Betapa banyak kita saksikan muda-mudi yang berkeliaran tanpa tujuan yang jelas. Bahkan kadangkala motif mereka cuma mejeng dan cari perhatian, dengan penampilan mereka yang ala artis Barat. Belum lagi di tambah gaya mereka yang di bumbui dengan parfum atau wangi-wangian yang baunya sangat menusuk hidung.

Jelas ini semuanya adalah musibah bagi orang yang melihatnya, khususnya bagi laki-laki yang imannya lemah, yang terbiasa duduk di pinggir jalan. Maka janganlah sampai kita memperturutkan pandangan kita, melihat para nyonya atau wanita penghibur yang senantiasa menebar virus fitnah tersebut. Karena Allâh Ta'âla mengharamkan hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

(QS. an-Nûr/24:30)

Berdasarkan ayat ini, sebagian Ulama berpendapat tidak bolehnya memandang wanita yang bukan mahramnya, baik dengan syahwat atau tidak. [8]

Jika memandang wanita adalah haram, maka bagaimana halnya kalau ditambah dengan kata-kata keji atau jorok kepada orang yang lewat atau menuduh zina perempuan yang baik?! tentu dosanya akan lebih besar di sisi Allâh Ta'âla.

Sebagaimana kita dilarang memandang wanita yang sedang lewat, demikian pula haram bagi kita mengintip wanita yang menampakan auratnya karena suatu hajat atau sedang istirahat di rumah-rumah mereka. Jangan sampai mata kita disibukkan memandang hal yang haram. Tetapi mari kita pergunakan untuk melihat hal yang disyariatkan atau diperbolehkan, sebagai bukti syukur kita kepada Allâh atas kesempurnaan nikmat (indra) yang dianugerahkan-Nya kepada kita.

2. Menghilangkan gangguan.

Janganlah kita menyakiti orang lain, baik dengan perkataan atau perbuatan. Seperti mencela orang, atau memukul orang lain dengan tangan atau dengan tongkat tanpa kesalahan yang di lakukan orang tersebut.

Termasuk juga merampas apa yang dibawa seseorang, membanjiri jalan dengan air supaya membasahi kaki orang yang lewat, menaruh gangguan di jalan agar orang yang lewat tersandung, melemparkan kotoran di tengah jalan, meletakkan duri di tengah jalan, supaya mengenai orang yang lewat; mempersempit jalan, dengan cara membuat majelis duduk yang dapat mengganggu tetangga dan wanita yang ingin keluar; atau membatasi gerak seseorang, dan lain sebagainya. Semua ini adalah contoh bentuk perbuatan tercela yang dapat merugikan orang lain dan wajib ditinggalkan.

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam menuturkan dalam sabdanya:

Demi Allâh, dia tidaklah beriman;
demi Allâh, dia tidaklah beriman;
demi Allâh, dia tidaklah beriman.
Beliau ditanya:
"Siapakah wahai Rasûlullâh?"
Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman
dari gangguannya.
[9]


Dalam riwayat lain beliau juga bersabda:

"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin
selamat dari lisan dan tangannya,
sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan
hal-hal yang dilarang oleh Allâh."
[10]

3. Menjawab Salam

Menjawab salam merupakan kewajiban seorang muslim dan sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang patut diteladani. Janganlah kita bosan menjawab salam, walaupun orang yang lewat banyak, karena semua itu dapat menimbulkan kecintaan orang lain. Mereka akan menghormati dan memuliakan kita.

Tidakkah kita senang kepada orang yang menyayangi kita serta menghargai orang yang memuliakan kita? Maka hendaklah kita membalas salam dengan yang semisalnya atau dengan yang lebih baik. Karena perkataan muslim sejati yang mendambakan keselamatan di dunia dan akhirat, jika diseru oleh Allâh dan Rasul-Nya kepada satu kebaikan, adalah "kami dengar dan kami taati".

Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya) :

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min,
bila mereka dipanggil kepada Allâh dan Rasul-Nya
agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan
"Kami mendengar dan kami patuh."
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

(QS. an-Nur/24:51)

4. Memerintahkan kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.

Memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan kewajiban mulia bagi seorang muslim terhadap saudaranya muslim. Apabila kita melihat sebuah gerobak (pedati) bermuatan berat ditarik seekor binatang, atau kita menyaksikan seekor hewan yang membawa suatu barang berat di luar kemampauannya, ini termasuk kemungkaran. Maka mintalah sang pengemudi atau pemiliknya meringankan beban muatannya.

Jika kita melihat dua orang lewat saling mencaci atau berkelahi, maka perintahkanlah keduanya untuk berhenti. Jika kita melihat seorang pemuda yang menggoda seorang gadis atau menghalang-halangi jalannya, maka berilah ia nasehat supaya menghentikan perbuatannya dan berjalan di atas jalan yang lurus. Seandainya dia menolak, maka kerjakanlah apa yang dapat kamu lakukan dengan tanpa ceroboh atau merugikan diri kamu sendiri.

Begitu pula kalau kita mengetahui ada orang menambah takaran (dengan tanpa keridhaan) atau mengurangi timbangan, maka perintahlah ia supaya berbuat adil. Demikian juga kecurangan lain yang dilakukan para pedagang, harus diingkari. Dan kewajiban kita adalah meluruskannya.[11]


Inilah beberapa adab yang harus diperhatikan oleh orang yang duduk di jalan. Dari empat adab yang telah dijelaskan hadits di atas, terdapat penambahan adab dalam riwayat hadits yang lain, yaitu:

  1. Riwayat Abu Dawud, dengan tambahan ‘Menunjukan ibnu sabil dan mendoakan orang bersin apabila ia memuji Allâh’.
  2. Riwayat Said bin Mansur dengan tambahan: ‘Menolong orang yang ketakutan.’
  3. Riwayat Al-Bazaar dengan tambahan: ‘Membantu orang yang kesusahan.’
  4. Riwayat Ath-Thabrani dengan tambahan: ‘Menolong orang yang teraniaya serta banyak berdzikir kepeda Allâh.’[12]

Semua riwayat di atas menunjukan urgensi (arti pentingnya) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur di manapun berada. Baik terhadap sesama muslim ataupun orang kafir, walaupun saat duduk di pinggir jalan. Karena akhlak mulia merupakan simbol kesempurnaan iman seorang muslim. Hal itu dapat diwujudkan dengan cara meneladani akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu
suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.

(QS. al-Ahzab/33:21)


Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik suri tauladan dan benar-benar berakhlak mulia.

Allâh berfirman (yang artinya):

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(QS. al-Qalam/68:4)

Jelaslah, akhlak yang mulia dapat diwujudkan dengan meneladani akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sehingga dengan demikian ketinggian akhlak dan kesempurnaan syariat islam sajalah yang akan tetap nampak sampai akhir zaman.


MUTIARA FAIDAH HADITS

Ketahuilah bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat sekumpulan adab-adab islam yang sangat baik dan penting. Yaitu etika duduk di jalan dan serambi rumah. Sudah seyogyanya seorang muslim memberi perhatian yang besar dalam hal ini. Apalagi di antara adab-adab tersebut ada yang berupa kewajiban, seperti menundukkan pandangan dari wanita. Ini merupakan perkara yang sudah ditegaskan dalam Al Quran dan banyak diperintahkan dalam hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

(QS. an-Nûr/24: 30)


Apabila perintah Allâh ini ditujukan langsung kepada generasi pertama yang suci, sedangkan sebagian wanita waktu itu tidaklah terlihat kecuali tangan dan mukanya, maka perintah menundukkan pandangan di zaman sekarang semakin kuat. Apalagi sekarang sudah banyak dijumpai wanita berpakaian tetapi telanjang, mereka termasuk ahli neraka sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :

Ada dua golongan dari penduduk neraka
yang belum pernah aku lihat keduanya …
Wanita berpakaian tapi telanjang,
(berjalan) sambil condong serta berlenggaklenggok,
kepala mereka seperti punuk unta,
mereka tidak akan masuk surga…
(Al-Hadits)

Maka wajib bagi seorang muslim –khususnya para kawula muda– untuk menundukkan pandangan mereka, dari melihat gambar telanjang (porno) yang memicu diri mereka dan mendorong daya nafsu mereka. Jika mampu, hendaklah mereka segera menikah untuk menjaga nafsu mereka. Jika mereka tidak mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan penawar, sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Janganlah mereka melakukan istimna' (onani) sebagai ganti dari berpuasa,[13] sehingga mereka menjadi orang-orang yang dimurkai oleh Allâh seperti firman-Nya (yang artinya):

"Apakah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang baik?"
(QS. al-Baqarah/2:61)

Saya memohon kepada Allâh, agar berkenan menjadikan kita dan seluruh kaum muslimin selalu dalam ketaatan kepada-Nya. Dan supaya Allâh memalingkan kita dari kemaksiatan yang tidak Dia ridhai, sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. [14]


KESIMPULAN DAN PENUTUP

Pada asalnya hukum duduk di pinggir jalan atau nongkrong di depan keramaian adalah perkara mubah, selama tidak mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain, dengan alasan:

Pertama. Karena ini perkara dunia.[15]

Kedua. Karena tidak adanya dalil qat'i yang mengharamkam perbuatan tersebut.

Akan tetapi ingatlah wahai saudaraku, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat itu, tentu lebih utama dan mulia. Terlebih lagi bagi seorang thalibul ilmi syar'iy as-salafy, ia harus menjaga muru'ah (kehormatan) yang sangat dianjurkan dalam syariat. Sibramilisy dalam catatan pinggir kitab Nihayatul Muhtaj 1/299 mengatakan: "Merokok, minum kopi dalam warung di pasar adalah suatu perbuatan yang dapat menghilangkan muru'ah seseorang, walaupun pelakunya merasa malu dengan perbuatannya."[16]

Mudah-mudahan kita diberi kekuatan lahir dan batin untuk tetap istiqamah di atas perintah-Nya dan di atas sunnah Nabi-Nya. Sehingga kita mampu meninggalkan hal-hal-yang tidak berfaedah, sekecil apapun. Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :

Di antara tanda kesempurnaan islam seseorang adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
[17]


Mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah khususnya para kaum muda dan kepada kaum muslimin umumnya untuk bisa memanfaatkan waktu lebih baik lagi dengan hanya beribadah kepada Allâh, karena kita tidak tahu kapan akhir hayat kita.

(Majalah As-Sunnah)

Kebaikan Islam Seseorang Ialah dengan Meninggalkan Perkara yang Tidak Bermanfaat

(Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)

Hadist

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”

(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:

  1. At-Tirmidzi, no. 2317.
  2. Ibnu Mâjah, no. 3976.
  3. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
  4. Ibnu Hibbân, no. 229 - at-Ta’lîqâtul Hisân.
  5. Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

SYARAH HADITS

Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr bin Shalâh rahimahullâh menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid rahimahullâh, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:

  1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Barang siapa beriman kepada Allâh Ta'ala dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’,
  2. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya’,
  3. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah’, dan
  4. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]

Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya. Makna ya'nihi “ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibankewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril radhiyallâhu'anhu (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Hadist

Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”
[2]

Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,

Hadist

Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya;
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, syubhat, makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsân, maka ketika beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allâh Ta'ala melihatnya. Maka, barang-siapa beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatannya kepada Allâh Ta'ala dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allâh Ta'ala kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.

Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allâh Ta'ala Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:

Hadist

Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]

Salah seorang yang arif mengatakan “jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allâh Ta'ala terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5]

Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allâh Ta’ala:

Qs. Qaf/50-18

Tidak ada satu kata yang diucapkannya,
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).

(Qs. Qâf/50:18)

Firman Allâh Ta'ala :

Qs. az-Zukhruf/43:80

Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.

(Qs. az-Zukhruf/43:80)

Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya, ia bicara ngawur, sia-sia, tidak bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu'anhu, ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?”

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:

Hadist

“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat.
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.
[6]

Allâh Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. An-Nisa'/4:114

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
(Qs. an-Nisâ‘/4:114)

Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.

Imam an-Nawawi rahimahullâh (wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut petunjuk Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. (Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahrîmil-Ghîbah wal-’Amri bi Hifzhil-Lisân).

Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.

Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipat-gandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipat-gandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:

Hadist

Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya,
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala.
[7]

Satu kebaikan dilipat-gandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipat-gandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Hadist

Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya,
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya.
[9]

Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad rahimahullâh menegaskan hal ini.

Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:

Hadist

Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya,
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.
[10]

Sahabat ‘Amr bin al-Ash radhiyallâhu'anhu, ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Aku ingin memberikan syarat!”

Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”

Aku menjawab, “Agar Allâh Ta'ala mengampuniku,”

Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?”

Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullâh disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[11]

Dari Hakim bin Hizâm radhiyallâhu'anhu berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?”

Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]

Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipat-gandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.

FAWA‘ID HADITS

  1. Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata,
    Allâh Ta'ala Ta’ala berfirman:

    Qs. an-Nahl/19:90
    Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
    (Qs. an-Nahl/16:90)
  2. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
  3. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
  4. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
  5. Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
  6. Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
  7. Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
  8. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
  9. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
  10. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allâh Ta'ala Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
  11. Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
  12. Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
  13. Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya.

Wallâhu a’lam.

Marâji‘:

  1. Al-Qur‘ân dan terjemahnya.
  2. Al-Mu’jamul Kabîr.
  3. Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Huwaini.
  4. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  5. Hilyatul-Auliyâ‘.
  6. Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
  7. Kutûbus Sab’ah. 8.Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
  8. Qawâ‘id wa Fawâ‘id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
  9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
  10. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-‘Utsaimîn.
  11. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
  12. Tafsîr Ibni Katsir.
  13. Dan kitab-kitab lainnya.

[1] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/288).
[2] Shahîh. HR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[3] HR al Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu.
[4] Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu. Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi’ush-Shagîr (no. 935).
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/290).
[6] Shahîh. HR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ‘i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Imân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as- Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hâkim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214).
[7] Shahîh. HR Muslim (no. 129).
[8] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/295).
[9] Shahîh. HR al-Bukhâri secara mu’allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ‘i (VIII/105-106).
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120).
[11] Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205).
[12] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123)

(Majalah As-Sunnah )

Empat Orang yang Dilaknat Allâh Ta'âla (*)

(Hadist: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

hadist

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).

TAKHRIJ HADITS

- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.

- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.

- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan

- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]

SYARAH HADITS

Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.

Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)


Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.

Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :

(QS an Najm/53 : 3-4)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)


Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :

“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”

Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,

”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),”

sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.

Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :

“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.

Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

hadist

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).


Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda beliau :

“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.

Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :

(QS al An’am/6 : 162-163)

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)


Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :

(QS adz Dzariyaat/51 : 56-58)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)


Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :

“Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh, maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh”.

Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh.

Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.

Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.

Al-muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).

Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh, maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.

Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :

“Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.

Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :

(QS al Ahzab/33 : 21)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)


Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :

"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)

Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.

Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.

Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).

Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda :

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”

Para sahabat bertanya,

”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,

Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :

“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.

Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.[2] Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.

Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)

Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :

1. Hak Allâh

2. Hak Nabi

3. Hak nafs

4. Hak orang lain


Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”

Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?

Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

hadist

“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”

Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.

Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

“Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”

Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :

“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau thaleh. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada kebenaran).[3]

(*)
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi.
Semoga bermanfaat. (Redaksi)
[1]
Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
[2]

Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang mereka ini :

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya”.
(Qs. al-Kahfi : 103-104)

[3]

Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi)

Blog Archive

www.voa-islam.com

About Me

Foto Saya
Abu Syifa
Tidak ada simpanan yang lebih berguna daripada ilmu. Tidak ada sesuatu yang lebih beruntung daripada adab. Tidak ada kawan yang lebih bagus daripada akal. Tidak ada benda ghaib yang lebih dekat daripada maut.
Lihat profil lengkapku

Kajian.net

Kajian.Net

Love Islam ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO